Civil Society |
Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani berasal dari bahasa Inggris, civil society. Kata civil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban (Gellner seperti yang dikutip Mahasin 1995). Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini, menurut Madjid: seperti yang dikutip Mahasin (1995), pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukkan oleh masyarakat kota Arab.
Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, serta sifatsifat negatif lainnya.
Gellner (1995) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud keika terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, dianggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.
Istilah madani menurut Munawir (1997) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian istilah madaniy dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Hall (1998), yang menyatakan bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu ide, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terjewantahkan ke dalam kehidupan social.
Dalam masyarakat madani, pelaku social akan berpegang tegung pada peradaban dan kemanusiaan. Hefner (1998:16-20) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semamin plural dan heterogen. Dalam keadaan seperi ini masyarakat diharapkan mampu mengoranisasikan dirinya, dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten, memiliki perbandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral, mengakui emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominant adalah masyarakat yang demokratis.
Latar Belakang
Masyarakat madani timbul karena faktor-faktor :
Adanya penguasa politik yang cenderung mendominasi (menguasai) masyarakat dalam seala bidang agar patuh dan taat pada penguasa. Tidak adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Adanya monopoli dan pemuastan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat, karena secara esensial masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
Masyarakat diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan yang baik (bodoh) dibandingkan dengan penguasa (pemerintah). Warga negara tidak memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya. Sementara, demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakatyang berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.tanpa mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokrasi ini banyak dikemukakan oleh pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi (demokratis) di sini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi.
Adanya usaha membatasi ruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan politik. Keadaan ini sangat menyulitkan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, karena pada ruang politik yang bebaslah individu berada dalam posisi yang setara, dan akan mampu melakukan transaksitransaksi politik tanpa ada kekhawatiran.
Dalam memasuki millennium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistic, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar (Nordholt, 1999), jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekpresi, menjamin hak kepemilikan, dan menghormati hak-hak asasi manusia (Farkan, 1999).
Sejarah Masyarakat Madani
Jika dicari akar sejarahnya, maka dapat dilihat bahwa dalam masyarakat Yunani Kuno masalah ini sudah mengemuka. Rahardjo (1997) menyatakan bahwa istilah civil society sudah ada sejak zaman sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani kuno. Civil society menurut Cicero ialah suatu komunitas memiliki kode hokum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka kota dipahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan.
Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil society, juga berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun, dan konsep Al Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan (Rahardjo seperti yang dikutip Nurhadi, 1999).
Menurut Dr. Ahmad Hatta, peneliti pada Lembaga Pengembangan Pesantren dan Studi Islam, Al Haramain, Piagam Madinah adalah dokumen penting yang membuktikan betapa sangat majunya masyarakat yang dibangun kala itu, di samping juga memberikan penegasan mengenai kejelasan hukum dan konstitusi sebuah masyarakat. Bahkan, dengan menyitir pendapat Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), Piagam Madinah ini adalah konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia. Konstitusi ini secara mencengangkan telah mengatur apa yang sekarang orang ributkan tentang hak-hak sipil (civil rights), atau lebih dikenal dengan hak asasi manusia (HAM), jauh sebelum Deklarasi Kemerdekaan Amerika (American Declaration of Independence, 1776), Revolusi Prancis (1789), dan Deklarasi Universal PBB tentang HAM (1948) dikumandangkan.
Secara formal, Piagam Madinah mengatur hubungan sosial antar komponen masyarakat. Pertama, antarsesama muslim, bahkan sesame muslim adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan nonsmuslim didasarkan pada prinsip bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama.
Ada dua nilai dasar yang tertuang dalam Piagam Madinah. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan, kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip itu lalu dijabarkan, dan ditanamkan dalam bentuk beberapa nilai universal, seperti konsistensi, keseimbangan, moderat, dan toleran.
Sementara itu konsep masyarakat madani, atau dalam khazanah Barat dikenal sebagai civil society (masyarakat sipil), muncul pada masa Pencerahan (Renaissance) di Eropa melalui pemikiran John Locke (abad ke-18) dan Emmanuel Kant (abad ke -19). Sebagai sebuah konsep, civil society berasal dari proses sejarah panjang masyarakat Barat yang biasanya dipersandingkan dengan konsepsi tentang state (Negara). Dalam tradisi Eropa abad ke-18, pengertian masyarakat sipil ini dianggap sama dengan negara (the state), yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi kelompok lain.
Barulah pada paruh kedua abad ke-18, terminology ini mengalami pergeseran makna. Negara dan masyarakat madani kemudian dimengerti sebagai dua buah entitas yang berbeda. Bahkan kemudian, Kant menempatkan masyarakat madani dan negara dalam kedudukan yang berlawanan, yang kemudian dikembangkan oleh Hegel, menurutnya masyarakat madani merupakan subordinatif dari negara. Di Indonesia, perjuangan masyarakat madani dimulai pada awal pergerakan kebangsaan, dipelopori oleh Syarikat Islam (1912), dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999). Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif, baik dari rezim Orde Lama maupun rezim Orde Baru. Tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi.
Karakteristik dan Ciri-ciri Masyarakat Madani
Ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani, yaitu :
Diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan, sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralismebertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas, yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah perbedaan yang kosmopolit akan tercipta manakala manusia memiliki sikap inklusif, dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas sejati atas parameterparameter otentik agama tetap terjaga.
Tingginya sikap toleransi. Baik terhadap saudara sesame agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar, dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak sematamata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun, juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup berdampingan, dan saling menghormati satu sama lain.
Tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekedar kebebasan dan persaingan, demokrasi adalah pula suatu pilihan untuk bersama-sama membangun, dan memperjuangkan perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahteran.
Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, dan menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat. Sumber:http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/36625/bab-12-masyarakat-madani.pdf