Hukum Nikah Siri |
Kata “sirri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Ara, yang arti harfiyahnya, “rahasia” (secret marriage). Menurut Terminologi fiqh Maliki, nikah sirri ialah : Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk isterinya atau jama’ahnya, sekalipun keluarga setempat”. Madzhab Maliki tidak membolehkan nikah sirri. Nikahnya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya bisa dikenakan hukuman had (dera atau rajam), jika telah terjadi hubungan antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi.
Demikian juga Madzhab Syafi’i dan Hanafi tidak membolehkan nikah sirri. Menurut Madzhab Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syari’at Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh. Menurut suatu riwayat, khalifah Umar bin al-Khatthab pernah mengancam pelaku nikah sirri dengan hukum had. Istilah sirri sebenarnya berarti sesuatu yang bersifat rahasia atau tertutup.
Namun dalam perkembangan kemudian, dikalangan umum ada beberapa persepsi/asumsi yang memaknai perkawinan sirri sebagai berikut :
Perkawinan siri adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa menggunakan wali atau saksi yang dibenarkan oleh syariat Islam. Menurut para ulama mereka sepakat bahwa perkawinan jelas ini adalah perkawinan yang tidak sah dan bahkan disamakan dengan perizinan sebagaimana hadist nabi yang berbunyi “bahwa suatu pernikahan yang tidak menghadirkan empat pihak maka termasuk zina, empat pihak itu adalah suami, wali dan dua orang saksi yang adil.
Perkawinan siri yakni perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa melibatkan petugas pencatatan perkawinan atau dapat juga dikatakan tidak dicatat oleh pencatat sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 22 PP No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UUP, Pasal 8 UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam pengertian ini sebenarnya telah sesuai dengan syarat dan rukun perkawinan. Dalam pengertian ini sebenarnya telah sesuai dengan syarat dan rukun perkawinan. Cuma saja perkawinan tersebut tidak dicatatkan oleh pegawai Pencatat Nikah (PPN) ataukah KUA.
Dari pembagian perkawinan siri di atas, hanya perkawinan yang versi pertama dapat dikatakan sebagai perkawinan siri dimana perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat perkawinan berdasarkan hukum Islam. Dan terhadap perkawinan demikian dalam kacamata undang-undang perkawinan, syarat materilnya tidak terpenuhi. Artinya perkawinan tersebut karena tidak memenuhi syarat dan rukun nikah berarti sudah otomatis dianggap tidak pernah ada. Dan lagi-lagi berdasarkan hukum Islam anak yang lahir dari perkawinan siri tersebut dikategorikan sebagai anak zina. Dalam kasus yang seperti ini sama sekali tidak dapat lagi dilakukan pencatatan perkawinan, atau melalui pengesahan nikah, karena memang sedari awal perkawinan itu batal demi hukum.
Beda halnya dengan perkawinan siri ini jenis kedua. Dan saya sendiri menganggap bahwa perkawinan jenis tersebut bukan kategori perkawinan siri. Oleh karena sudah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Kalau ditarik dari maksud Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan (UUP).
Perkawinan tersebut telah dilaksanakan sebagai perkawinan yang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing yaitu agama Islam. Perkawinan yang telah dilaksanakan menurut syarat dan rukun nikah adalah perkawinan yang sah. Sehingga lebih tepat kalau kita mengatakan adalah perkawinan sah yang tersembunyi. Oleh karena belum mendapat pengakuan dari pemerintah.
Terlepas dari konsekuensi bahwa dengan tidak adanya dampak hukum bagi salah satu pihak. Dengan tidak adanya pencatatan, misalnya isteri tidak dapat memiliki kekuatan legitimasi untuk mendapatkan nafkah dari suaminya jika suatu waktu terjadi perceraian. Demikian halnya juga anak dari hasil perkawinan itu. Oleh negara dan hukum positif kita menganggap tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sah sehingga sang anak dapat memperoleh warisan dari anaknya. Karena hukum dimana-mana memerlukan pembuktian otentik.
Permasalahan tersebut, perihal tidak adanya kekuatan legitimasi bagi istri, hukum sudah memberikan ruang untuk melakukan pencatatan meskipun perkawinan sudah lama berlangsung, Undang-undang memberikan solusi dengan dibukanya peluang permintaan ‘itsbat’ nikah ke Pengadilan Agama. Yaitu permohonan agar pernikahan tersebut (tidak dicatatkan/tidak punya akte nikah) dinyatakan sah, dan selanjutnya diperintahkan kepada PPN/KUA kecamatan setempat untuk mencatat perkawinan semacam ini dan memberikan kutipan Akta Nikah berdasarkan keputusan Pengadilan Agama. Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 7 ayat 2-4 Kompilasi Hukum Islam. Selain itu, ketentuan ini juga dimuat dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 Pasal 3 ayat 5 dan Pasal 31 ayat 3 Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1990.