Industri perbankan oleh beberapa ahli ekonomi dianggap sebagai industri yang memerlukan perhatian khusus karena mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal perbankan dan merupakan bagian integral dari sistem pembayaran (George F. Kaufman, 1997). Beberapa analis mengutarakan alasan-alasan yang mendukung pernyataan tersebut, bahwa industri perbankan merupakan industri yang rentan terhadap krisis.
Alasan-alasan tersebut antara lain adalah karena industri perbankan memiliki:
- Rasio kas terhadap asset yang rendah
- Rasio modal terhadap asset yang rendah, dan
- Rasio dana jangka pendek terhadap total deposit yang tinggi
Terdapat tiga alasan utama mengapa stabilitas sistem keuangan dan perbankan mendapat perhatian penting. Pertama, sistem keuangan dan perbankan yang stabil akan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi nasabah penyimpan dan investor untuk menanamkan dananya pada lembaga keuangan, termasuk menjamin kepentingan masyarakat terutama nasabah kecil. Kedua, sistem keuangan dan perbankan yang stabil akan mendorong intermediasi keuangan yang efisien sehingga pada akhirnya dapat mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kestabilan sistem keuangan akan mendorong beroperasinya pasar dan memperbaiki alokasi sumber daya dalam perekonomian.
Sebaliknya, instabilitas sistem keuangan dan perbankan dapat menimbulkan konsekuensi yang membahayakan yaitu tingginya biaya fiskal yang harus dikeluarkan untuk menyelamatkan lembaga keuangan dan perbankan yang bermasalah dan penurunan PDB akibat krisis perbankan. (Kajian Stabilitas Keuangan Bank Indonesia, Juni 2003)
Sampai saat ini definisi dari krisis perbankan masih menimbulkan perdebatan. Hal ini disignalir oleh Mannsasoo dan Mayers (2005) yang mempertanyakan bagaimana ukuran krisis sehingga bisa didefiniskan krisis perbankan.
Definisi dari Kaminsky dan Reinhart (1999) mengenai krisis perbankan adalah ditandai dengan adanya masalah dalam neraca. Mereka menyatakan awal tanda-tanda krisis ditandai dengan penarikan dana besar-besaran dari nasabah dan penutupan bank.
Menurut Hardy dan Pazarbasiglu (1998) definisi krisis perbankan adalah apabila sistem perbankan mengalami salah satu dari kondisi-kondisi sebagai berikut:
- Tingginya kredit macet (NPL) yang melebihi 10% dari seluruh aset atau 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
- Biaya penyelamatan perbankan melebihi 2% dari PDB.
- Nasionalisasi atau pengambil alihan perbankan oleh pemerintah.
- Penarikan dana besar-besaran oleh nasabah.
- Penutupan bank oleh pemerintah baik sementara atau selamanya.
Sementara Gonzales-Hermosillo (1999) menyatakan indikator terbaik untuk menyatakan krisis perbankan adalah kredit macet. Demirguc-Kunt dan Detragiache (1998) mendefinisikan krisis perbankan salah satunya adalah kredit macet yang sepuluh persen lebih besar dari seluruh asset di sistem perbankan.
Sedangkan Rojaz-Suarez (1998) mendefinisikan krisis perbankan adalah apabila kredit macet lebih besar daripada rata-rata selama masa tidak krisis ditambah 2 standar deviasi. Instabilitas perbankan secara individual sebenarnya tidak terlaluberpengaruh pada perekonomian secara keseluruhan. Namun apabila instabilitas tersebut terjadi pada sektor perbankan secara keseluruhan yaitu terganggunya hubungan antar bank sebagai dampak kondisi fundamental ekonomi yang tidak stabil, dikhawatirkan akan semakin memperburuk kondisi perekonomian secara keseluruhan.
Penyebab Terjadinya Krisis
Krisis keuangan dan krisis perbankan secara umum sering terjadi di berbagai belahan dunia. Pemahaman megenai penyebab terjadinya krisis masih sangat beragam tergantung dari kondisi negara yang dijadikan kasus. Namun bila diamati secara mendalam, krisis keuangan atau instabilitas di sektor keuangan dan krisis perbankan di berbagai belahan dunia ini memiliki karakteristik atau pola tertentu yang selalu berulang.
Menurut Radelet dan Sach (1998) terdapat lima tipe penyebab krisis keuangan yaitu sebagai berikut:
a. Kebijakan ekonomi yang tidak konsisten
Krugman (1979) merupakan pelopor yang menganalisis krisis finansial dengan melihat krisis neraca pembayaran, dimana nilai tukar mata uang jatuh akibat ekspansi kredit domestik oleh bank sentral yang tidak konsisten dengan target nilai tukar mata uang. Teori ini menjelaskan penyebab terjadinya krisis keuangan di negara yang menggunakan sistem nilai tukar tetap.
b. Kepanikan di pasar uang
Penyebab terjadinya krisis adalah dikarenakan terjadinya penarikan besar-besaran atas dana kredit yang diberikan oleh kreditor asing, terutama pinjaman jangka pendek secara mendadak sehingga mengakibatkan kekurangan likuiditas.
c. Pecahnya gelembung finansial
Gelembung finansial terjadi jika spekulan membeli aset keuangan pada harga di atas harga fundamentalnya dengan harapan mendapatkan capital gain (Blanchard dan Watson, 1982). Namun ketika pelaku pasar menyadari adanya krisis, mereka segera menjual seluruh aset yang dimilikinya dengan menukarkannya dalam mata uang asing, sehingga mata uang domestik menjadi turun.
d. Moral hazard
Krisis terjadi karena adanya jaminan pemerintah dan lemahnya penegakan aturan (hukum) yang memperbolehkan perbankan dan lembaga keuangan untuk meminjam kredit lebih besar dari modalnya sendiri (Akerlof dan Romer, 1993) sehingga terjadi investasi yang berlebihan dan berisiko.
Kreditor asing dan domestik melakukan pemberian kredit yang berisiko tinggi karena mereka tahu bahwa pemerintah dan lembaga keuangan internasional akan memberikan talangan (bantuan dana) bila terjadi masalah. Krugman menggunakan teori ini untuk meneliti krisis keuangan di Asia pada tahun 1997.
e. Ketiadaan aturan baku
Tidak adanya sistem kebangkrutan atau kepailitan dalam kasus dimana korporasi menghadapi masalah likuiditas merupakan salah satu penyebab krisis, karena berkaitan erat dengan pemegangan aset-aset yang harus dilikuidasi (Miller dan Zhang, 1997). Namun, dilihat dari segi teori yang mendasarinya analisis krisis keuangan dapat dibagi ke dalam empat (4) bagian yaitu teori generasi pertama krisis keuangan, generasi kedua dan generasi
ketiga serta teori di luar sistem generasi.
Sumber: Krisna Wijaya, Analisis Kebijakan Perbankan Nasional, PT. Elex Media Komputindo, 2010.