Tidak ada keseragaman dalam prosedur pembuatan perjanjian internasional, masing-masing negara mengatur sesuai dengan konstitusi dan hukum kebiasaan yang berlaku di negaranya. Namun dalam praktek berbagai negara terdapat dua cara prosedur utama untuk membuat perjanjian internasional, yaitu :
a. Prosedur normal (klasik)
a. Prosedur yang disederhanakan (simplified)
Prosedur normal.
Prosedur normal ini timbul sesudah revolusi Prancis, yaitu timbulnya negara-negara demokrasi dimana parlemen memegang peranan penting dalam pembuatan undang-undang dan juga pembuatan treaty (treaty making). Dalam prosedur normal ini kita menemukan serangkaian ketentuan-ketentuan Konvensi Wina sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pembahasan berikut ini.
Secara kronologis pembuatan perjanjian internasional dengan cara prosedur normal, yaitu :
- Perundingan (negotiation).
- Penandatanganan (signature).
- Ratification (ratifikasi).
1. Perundingan (negotiation).
Kebutuhan suatu negara akan berhubungan dengan negara-negara lain untuk membicarakan dan memecahkan berbagai persoalan yang timbul diantara mereka menimbulkan kehendak negara-negara tersebut untuk mengadakan perundingan yang pada akhirnya melahirkan suatu treaty. Diadakannya perundingan tersebut untuk bertukar pandangan tentang berbagai masalah, seperti masalah politik, ekonomi, penyelesaian sengketa atau pendirian lembaga-lembaga internasional. (PBB, ILO, WTO dan lain-lain).
Setelah para pihak bersepakat untuk mengadakan perundingan maka masing-masing negara menunjuk organ-organ yang berkompeten untuk menghadiri perundingan itu. Dalam konstitusi suatu negara maupun dalam Konvensi Wina 1969, Kepala Negaralah yang bertanggung jawab akan terselenggaranya perundingan itu. Tetapi dalam praktek diplomatik jarang sekali Kepala Negara ikut dalam perundingan, maka dalam menghadiri konperensi sering sekali dihadiri wakil-wakil berkuasa penuh. Jika perundingan tidak dilakukan oleh Kepala Negara, maka dihadiri oleh Menteri Luar Negeri, atau wakil Diplomatiknya dan apabila tidak maka ditunjuklah wakil-wakil berkuasa penuh yang mendapat surat kuasa penuh (full power) untuk mengadakan perundingan menandatangani atau menyetujui teks perjanjian dalam Konperensi (pasal 7 ayat 1 dan 2 Konvensi).
Dalam praktek sering seorang yang dikirim untuk menghadiri konperensi tidak membawa surat kuasa penuh, tetapi untuk sementara diberikan lewat kawat atau telepon yang ditujukan kepada sekretariat atau Ketua konperensi. Secara hukum tindakan yang demikian ini dibenarkan, asal saja kemudian disahkan atau dikirim surat kuasa penuh oleh negara yang bersangkutan (negara pengirim). Tanpa disertai pengesahan tersebut, maka semua tindakan yang dilakukan oleh wakil dari negara pengirim tidak memiliki kekuatan yang syah (batal) (Mochtar.., Pengantar.., Bandung, 1996, hal. 43-44).
Untuk suatu ”treaty bilateral” (perjanjian bilateral) perundingan itu disebut dengan “talk” sedangkan perjanjian multilaral disebut dengan “diplomatic conference” (dilakukan dengan konperensi diplomat). Perundingan yang demikian ini dapat juga dilakukan secara tidak resmi yang sering disebut dengan “corridor talk” atau “lobbying”, yaitu dilakukan pada waktu istirahat saling bertukar pikiran atau saling mempengaruhi.
2. Penandatanganan (signature).
Setelah berakhirnya perundingan, maka pada teks treaty yang telah disetujui oleh wakil-wakil berkuasa penuh dibubuhkan tandatangan atau mereka menandatangani protokol tersendiri sebagai prosedur penandatangan.
Akibat dari penandatanganan (effect of signature) suatu treaty tergantung pada ada tidaknya persyaratan ratifikasi treaty tersebut. Apabila traktat harus diratifikasi maka penandatangan hanya berarti utusan-utusan telah menyetujui teks perjanjian dan bersedia menerimanya serta akan meneruskan kepada pemerintah yang berhak untuk menerimanya atau menolak traktak tersebut (Starke, Introduction, London, 1987, 429).
Dalam praktek diplomatik fungsi tandatangan adalah memberikan persetujuan terhadap teks perjanjian dan belum merupakan suatu treaty yang mengikat negara-negara penandatangan. Sedangkan pada masa monarchi Eropa praktek diplomatik pada masa itu, bahwa dengan telah ditandatangani teks perjanjian itu maka negara penandatangan akan terikat pada treaty.
Bila suatu negara yang telah ikut menandatangani suatu perjanjian tetapi belum meratifikasinya berarti negara tersebut secara yuridis belum merupakan peserta dalam perjanjian. Dalam hal ini negara tersebut berkewajiban untuk tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan obyek dan tujuan perjanjian selama negara tersebut belum meratifikasinya.
3. Ratifikasi.
Tindakan selanjutnya sesudah penandatanganan oleh wakil berkuasa penuh, para delegasi meneruskan naskah perjanjian tersebut kepada pemerintahnya untuk meminta persetujuan. Untuk ini dibutuhkan penegasan oleh pemerintah yang bersangkutan setelah mereka mempelajari dan setelah diajukan kepada Parlemen bilamana perlu. Penegasan tersebut dinamakan dengan ratifikasi atau pengesahan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian bahwa perjanjian itu akan mengikat tanpa harus diratifikasi terlebih dahulu.
Dalam pasal 2 Konvensi Wina 1969, Ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak tanggal penandatanganan ratifikasi.
Ratifikasi biasanya dibuat oleh Kepala Negara yang berkepentingan yang kemudian diteruskan dengan pertukaran nota ratifikasi diantara negara-negara peserta perjanjian. Dalam proses sebelum ratifikasi perjanjian terdapat dua kegiatan, yaitu :
- Pembentukan kehendak negara melalui hukum konstitusinya.
- Pernyataan kehendak dalam rangka hubungan internasional sesuai dengan praktek diplomatik yang berlaku.
Melihat dari dua kegiatan tersebut bahwa ratifikasi mempunyai dua pengertian dan mengesahkan suatu treaty dari segi hukum konstitusi dalam negara itu sendiri. Dalam arti ratifikasi ini adalah persetujuan legislatif atau parlemen sebelum diratifikasi oleh eksekutif berdasarkan konstitusi negara masing-masing.
Adapun ratifikasi dalam arti internasional disebut sebagai ratifikasi yang sebenarnya (ratification proper). Ratifikasi ini diselenggarakan oleh organ eksekutif sesudah persetujuan Parlemen. Dalam ratifikasi ini organ eksekutif sebagai suatu badan yang mewakili suatu negara berhadapan dengan negara-negara peserta perjanjian lainnya. Pernyataan kehendak suatu negara tercantum dalam dokumen ratifikasi (instrument of ratification) yang ditandatangani oleh kepala negara atau Menteri Luar Negeri (MENLU) atau badan eksekutif, selanjutnya dokumen ini dipertukarkan antara negara yang satu dengan negara peserta perjanjiannya. Untuk perjanjian bilateral dokumen (nota ratifikasi) disimpan atau dideposit pada suatu negara, sedangkan untuk perjanjian multilateral disimpan di sekretariat suatu organisasi internasional.
Jadi ratifikasi dalam arti internasional adalah suatu kegiatan berupa pertukaran atau penyimpanan dokumen ratifikasi (nota ratifikasi), sejak tanggal pertukaran dokumen tersebut lahirlah kewajiban-kewajiban internasional sebagai efek dari ratifikasi.
Prosedur Yang disederhanakan
Dalam praktek negara-negara prosedur yang disederhanakan timbul mengingat pengaturan hubungan internasional menghendaki atau memerlukan waktu yang cepat, seperti kebutuhan dalam bidang ekonomi. Prosedur yang disederhanakan ini tidak memerlukan waktu yang lama seperti prosedur normal/klasik yang menghendaki ratifikasi dari badan yang berwenang (parlemen) sebelum treaty atau perjanjian internasional itu berlaku mengikat negara-negara penandatangan. Treaty dalam prosedur yang disederhanakan sering dibuat oleh menteri yang bersangkutan tanpa ikut Kepala Negara dan ratifikasi hanya terjadi dengan persetujuan sederhana/simple approval.
Secara teknis nampak perbedaan kedua prosedur tersebut, yaitu perlu atau tidaknya persetujuan Parlemen dalam prosedur pembuatan perjanjian. Dapat diambil kesimpulan bahwa apabila treaty dibuat dengan prosedural normal biasanya treaty tersebut perlu diratifikasi dengan mendapat persetujuan dari parlemen sebelum berlaku. Sedangkan prosedur yang disederhanakan seperti biasanya hanya persetujuan pemerintah “government agreement”, maka treaty itu tidak perlu diratifikasi dengan persetujuan parlemen cukup hanya dengan pemberitahuan saja.
Sumber:
Kusumaatmadja Mochtar., 1996, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung.