Hukum Kontrak |
Pengertian Kontrak, Suatu kontrak atau perjanjian adalah suatu “peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”. Pengaturan tentang kontrak ini diatur di dalam buku III KUHPerdata. Sebagai perwujudan tertulis dari perjanjian, kontrak adalah salah satu dari dua dasar hukum yang ada undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan adalah suatu keadaan hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain.
Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Berdasarkan hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan (prestasi), perjanjian dibagi dalam tiga macam (Pasal 1234 KUHPerdata), yaitu :
a. Perjanjian untuk memberikan / menyerahkan sesuatu barang;
b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian didalam Pasal 1313 KUH Perdata definisikan sebagai berikut : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Namun, pengertian kontrak menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidaklah lengkap, karena hanya mencakup kontrak sepihak, yaitu satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih, sedangkan satu kontrak lainnya atau lebih itu tidak diharuskan untuk mengikatkan diri kepada pihak pertama. Selain itu, pengertian kontrak menurut Pasal 1313 KUHPerdata juga terlalu luas, karena dapat mencakup perbuatan hukum dalam lapangan hukum keluarga, misalnya perjanjian perkawinan yang merupakan kontrak juga. Tetapi sifatnya berbeda dengan yang diatur dalam buku III KUHPerdata yang merupakan perbuatan hukum dalam lapangan harta kekayaan, yang kriteria dasarnya adalah dapat dinilai secara materil mengandung nilai ekonomis yang dapat dinilai dengan uang.
Suatu kontrak, menurut Erman Radjagukguk, pada dasarnya adalah suatu dokumen tertulis yang memuat keinginan para pihak untuk mencapai tujuan komersialnya, dan bagaimana pihaknya di untungkan, dilindungi atau dibatasi tanggung jawabnya dalam mencapai tujuan tersebut. Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dimana, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan undang undang. Tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja.
Hal ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sepanjang tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.hal ini disebut dengan Asas kebebasan berkontrak. Ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata memberi kebebasan kepada para pihak untuk :
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun,
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,dan persyaratannya,
4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis ataupun lisan,
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah menganut sistem terbuka (open system). Artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur undang-undang.
Asas Hukum Kontrak
Asas-asas dalam Kontrak, Setidaknya terdapat lima asas yang perlu mendapat perhatian, yaitu asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (consensualism), asas kepastian hukum (pacta sun servanda), asas itikad baik (good faith), asas kepribadian (personality).
Berikut penjelasannya :
a. Asas Kebebasan berkontrak (freedom of contract)
Menurut asas kebebasan berkontrak, setiap orang dapat leluasa membuat kontrak apa saja yang mereka inginkan, selama kontrak itu memenuhi syarat dan tidak melanggar ketentuan hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum.
Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” “semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun, tentang apapun, bahkan para pihak juga bebas untuk tidak membuat perjanjian. Namun kebebasan tersebut tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu berada didalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan dan ketertiban umum (misalnya kontrak membuat provokasi kerusuhan).
Hukum kontrak atau perjanjian disebut pula sebagai hukum pelengkap yang dalam bahasa Belanda disebut aanvulend recht atau optional law dalam bahasa inggris. Maksudnya pasal-pasal hukum kontrak berperan apabila para pihak tidak mengatur sendiri dalam perjanjian yang dibuatnya. Dengan keadaan demikian barulah hukum konrak/ perjanjian tersebut tampil dan berperan mengatur hal-hal yang tidak atau lupa diatur oleh pihak yang berkepentingan. sehingga pasal dan undang-undang dalam hukum kontrak akan berfungsi sebagai hukum pelengkap (aanvulend recht) yang melengkapi kekurangan yang terdapat dalam kontrak, dan untuk hal tersebut para pihak tunduk kepada undang-undang yang berlaku.
b. Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda)
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui bahwa suatu kontrak mempunyai kekuatan hukum layaknya undang-undang, namun terbatas hanya mengikat para pihak yang menandatanganinya, asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian.
c. Asas Konsensualisme (consensualism)
Pasal 1320 KUHPerdata dikatakan bahwa untuk sahnya suatu kontrak diperlukan empat syarat dan pada syarat pertama adalah “Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya (de toestemming)”. Pasal ini menjelaskan bahwa harus ada kesepakatan antara para pihak yang mengikat diri. Konsensualisme berarti kesepakatan (consensus), yaitu pada dasarnya kontrak dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat. Kemauan untuk mengikat diri dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog). Kontrak telah lahir dan mengikat para pihak begitu adanya kesepakatan mengenai hal-hal pokok dalam kontrak atau disebut esensialia perjanjian, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini dapat terjadi dalam hal undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu kontrak, misalnya syarat harus tertulis, contoh “Akta Perdamaian” merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis.
d. Asas Itikad Baik (good faith/ tegoeder trouw)
Pasal 1338 dalam ayat (3) KUHPerdata dinyatakan : “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Itikad baik berarti keadaan batin para pihak untuk membuat dan melaksanakan kontrak secara jujur, terbuka, dan saling percaya. Dalam kontrak, keadaan batin para pihak tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya.
e. Asas Kepribadian (personality) Asas kepribadian berarti suatu prinsip dimana kontrak yang dibuat oleh para pihak hanya mengikat para pihak secara personal, tidak mengikat pihakpihak lain diluar para pihak. Kontrak yang dibuat hanya untuk kepentingan perseorangan. seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1314 KUHPerdata, “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau minta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.”
Dengan demikian perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Asas Kepribadian dapat dilihat pula pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan : “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti dari ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan :”Perjanjian hanya berlaku antar pihak yang membuatnya.” Artinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku pada mereka yang membuatnya. Pengecualian pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata dapat dilihat Pasal 1317 KUHPerdata, yang menyatakan : “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan.
Sumber: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/48974/3/Chapter%20II.pdf